Pisau Photon, Pengobatan Medis Non-Operasi
"Pisau Photon" adalah sebuah sistem penyinaran yang mengikuti bentuk tumor, melalui sinar photon membunuh sel tumor.
Keistimewaan terbesar dari pisau photon adalah dilakukan secara tiga dimensi, tepat sasaran, pengobatan radioterapi stereotactic yang dapat disebut sebagai "radioterapi yang mengikuti bentuk kanker", adalah teknologi modern terbaru pada dunia radioterapi internasional masa kini. Dengan otomatis menyesuaikan dengan tepat dan teliti bentuk dari tumor yang tidak beraturan, mengurangi efek samping pada jaringan normal sekitar tumor, meningkatkan ketepatan sasaran pada lokasi tumor, dan meminimalkan komplikasi setelah radioterapi.
Keistimewaan terbesar dari pisau photon adalah dilakukan secara tiga dimensi, tepat sasaran, pengobatan radioterapi stereotactic yang dapat disebut sebagai "radioterapi yang mengikuti bentuk kanker", adalah teknologi modern terbaru pada dunia radioterapi internasional masa kini. Dengan otomatis menyesuaikan dengan tepat dan teliti bentuk dari tumor yang tidak beraturan, mengurangi efek samping pada jaringan normal sekitar tumor, meningkatkan ketepatan sasaran pada lokasi tumor, dan meminimalkan komplikasi setelah radioterapi.
Proses pengobatan :
Pertama, penentuan posisi tumor - menggunakan teknologi stereotactic, CT, MRI, X-ray,dan teknologi pemeriksaan tiga dimensi lainnya, menentukan posisi lesi dan letak organ penting tubuh yang berdekatan, proses ini dinamakan perancangan posisi tiga dimensi.
Kedua, merancang konsep - menggunakan sistem perancangan konsep pengobatan tiga dimensi, menentukan posisi sinar pisau photon tepat pada sasaran, mengkalkulasi secara tepat dan optimal dosis yang akan diberikan untuk menghancurkan lesi tanpa mempengaruhi organ penting tubuh yang berdekatan, merancang konsep pengobatan yang terbaik.
Ketiga, pengobatan akurat - berdasarkan besar kecilnya tumor atau lesi, posisi lesi, kedalaman lesi, ditentukan penyinaran dengan dosis berbeda, agar dosis penyinaran yang dipakai dapat memasuki bagian lesi yang paling dalam, dan membuat jaringan tumor kongestif, edema, rusak dan mati setelah itu sel jaringan yang telah mati tersebut akan diserap, diurai, dan dikeluarkan oleh jaringan normal sekitarnya.
Kedua, merancang konsep - menggunakan sistem perancangan konsep pengobatan tiga dimensi, menentukan posisi sinar pisau photon tepat pada sasaran, mengkalkulasi secara tepat dan optimal dosis yang akan diberikan untuk menghancurkan lesi tanpa mempengaruhi organ penting tubuh yang berdekatan, merancang konsep pengobatan yang terbaik.
Ketiga, pengobatan akurat - berdasarkan besar kecilnya tumor atau lesi, posisi lesi, kedalaman lesi, ditentukan penyinaran dengan dosis berbeda, agar dosis penyinaran yang dipakai dapat memasuki bagian lesi yang paling dalam, dan membuat jaringan tumor kongestif, edema, rusak dan mati setelah itu sel jaringan yang telah mati tersebut akan diserap, diurai, dan dikeluarkan oleh jaringan normal sekitarnya.
Keunggulan Pisau Photon
Tidak operasi, tidak ada pendarahan, tidak ada rasa sakit, tidak bahaya. Melalui sinar photon dapat mematikan jaringan tumor di dalam tubuh, mengurangi komplikasi infeksi yang bisa disebabkan oleh operasi.
Dapat memasuki bagian tersembunyi yang tidak dapat dimasuki oleh pisau operasi bedah, seperti pembuluh darah besar jantung, bagian hilar paru, dan lainnya.
Dapat memasuki bagian tersembunyi yang tidak dapat dimasuki oleh pisau operasi bedah, seperti pembuluh darah besar jantung, bagian hilar paru, dan lainnya.
Prinsip Kerja Sensor Piezoelektrik Pada Ultrasonography (USG)
Sensor yang digunakan pada alat Ultrasonografi yakni sensor pizoelektrik, yang diletakkan pada komponen receiver yang menerima pantulan (refleksi) pola energi akustik yang dinyatakan dalam frekuensi. Sensor ini akan mengubah pergeseran frekuensi gelombang suara 1 – 3 MHz yang dipancarkan melalui transmitter pada jaringan tubuh dan kemudian gelombang tersebut dipantulkan (direfleksikan) oleh jaringan dan akan diterima oleh receiver dan selanjutnya diteruskan ke prosessor.
Sensor pizoelektrik terdiri dari bagian seperti housing, clip-type spring, crystal, dan seismic mass. Prinsipnya yakni ketika frekuensi energi akustikyang dipantulkan diterapkan, maka clip-type spring yang terhubung dengan seismic mass akan menekan crystal, karena energi akustik tersebut disertai oleh gaya luar sehingga crystal akan mengalami ekspansi dan kontraksi pada frekuensi tersebut. Ekspansi dan kontraksi tersebut mengakibatkan lapisan tipis antara crystal dengan housing akan bergetar. Getaran dari crystal tersebut akan menghasilkan sinyal berupa tegangan yang nantinya akan diteruskan keprosesor.
Sarung Tangan untuk Diagnostik Medis
Sarung Tangan Diagnostik Medis ini adalah sperti yang di film dari Star Trek dengan pengaplikasian aplikasi dunia nyata. Konsep dibuat oleh Designer Industri Senior Brian Perry, sarung tangan diagnostik ini tampaknya seperti itu akan menjadi suatu keharusan bagi setiap petugas medis di medan perang atau EMT yang perlu penanganan pasien dengan cepat.
Diagnostik Medis Glove mungkin bahkan lebih dingin dari sarung tangan Kertas Rock Gunting atau sarung tangan logam Freddy Kreuger, Desain yang komprehensif untuk menggambarkan Sarung Tangan Diagnostik Medis cerdas hasil desain Brian Perry.
Desain ramping terlihat sedikit seperti sarung tangan atau salah satu sarung tangan keren yang dipakai oleh pengendara sepeda. Tampaknya semua logis, dan tidak sepenuhnya keluar dari dunia ini sejauh teknologi berjalan.
Waspada Radiasi Perangkat Medis
Hati-hati terhadap paparan radiasi dari peralatan elektronik dan alat-alat medis, karena sangat berbahaya bagi kesehatan dan memengaruhi daya kerja organ tubuh.
Mungkin Anda khawatir dengan banyaknya radiasi dari pemindai (scanners) di bandara, saluran listrik bertegangan tinggi, telepon seluler, atau bahkan peralatan dapur seperti microwave. Memang benar kalau alat-alat tersebut memancarkan radiasi. Namun, yang patut diwaspadai adalah potensi radiasi saat kita menggunakan perangkat medis.
Masyarakat Amerika termasuk penduduk yang paling banyak terkena radiasi dari penggunaan alat kesehatan di seluruh dunia, bahkan jumlahnya lebih tinggi daripada orang-orang di negara-negara kaya lainnya. Amerika Serikat menyumbang sekitar setengah dari prosedur medis paling maju yang menggunakan radiasi, dan jumlah orang yang terkena radiasi terus tumbuh rata-rata enam kali lipat selama beberapa dekade terakhir. Terlalu banyak radiasi dapat meningkatkan risiko kanker. Risiko itu terus meningkat karena orang sehari-hari sering sekali melakukan tes apa pun melalui alatalat pemindai kesehatan.Misalnya sinar-X atau CT scan.
Seperti cerita seorang remaja dari New Hampshire, Amerika Serikat yang sering melakukan CT scan untuk memeriksa batu ginjalnya. Ahli radiologi Dr Steven Birnbaum mengungkapkan, remaja tersebut total telah menjalankan 14 kali tes menggunakan sinar-X.
“Melihat jumlah itu, saya (merasa) takut. Risiko kanker itu tentu saja akan tinggi,” terangnya.
Dia lalu meminta data dari dua rumah sakit tempatnya bekerja untuk mengetahui berapa banyak pasien yang telah menjalani CT scan sebanyak 10 kali atau lebih, atau pasien di bawah 40 tahun yang sudah lima kali melakukannya, yang sudah pasti berbahaya.
Birnbaum menemukan 50 orang di antaranya selama tiga tahun ini, termasuk seorang wanita muda dengan 31 kali pemindaian di perut. Birnbaum memaparkan, sinar- X atau CT scan digemari karena bisa memberikan hasil yang cepat dan sangat terperinci dibandingkan dengan magnetic resonance imaging (MRI), ultrasonografi (USG), atau pencitraan resonansi magnetik yang tanpa radiasi.
Karena itu, penggunaan sinar-X terus meningkat selama beberapa dekade terakhir. Radiasi merupakan bahaya yang terselubung karena kita tidak akan merasakan apa-apa ketika terkena radiasi. Dampaknya pun baru akan terasa atau terlihat setelah beberapa tahun kemudian. Jika dilakukan hanya sekali, tes yang menggunakan radiasi akan menimbulkan risiko kecil. Namun apabila terlalu sering, risiko terganggunya kesehatan akan semakin besar pula. Dokter tidak bisa menghitung berapa paparan radiasi yang dialami pasien. Mereka hanya menjalankan tugas melakukan tes, bukan sering atau tidaknya. Kecuali untuk manmogram, tidak ada aturan pemerintah yang mengatur dosis radiasi.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (Food and Drug Administration/FDA) Amerika Serikat akan membuat regulasi yang mengatur dosis standar untuk tes umum masyarakat dalam penggunaan sinar X, sehingga pasien dan dokter dapat melihat berapa batasan dosis yang telah diberikan. FDA juga akan mendorong kalangan industri dan dokter untuk menerapkan standar tersebut.
“Kami sedang mempertimbangkan persyaratan dan panduan untuk pencatatan dosis dan parameter teknis lainnya dari tes pemindaian (dengan sinar-X),” kata Sean Boyd, kepala bidang perangkat diagnostik FDA.
Tujuan jangka pendek dari peraturan tersebut adalah mengembangkan sebuah “catatan radiasi medis” untuk melacak dosis paparan radiasi dari awal hingga terakhir kali.“
Salah satu cara kita untuk meningkatkan perlindungan (pasien) adalah jika kita memiliki semacam pencatat dosis radiasi Geiger Counter, yang dapat diperiksa dokter sebelum tes berlangsung,” kata Dr Prashant Kaul dari Duke University, Amerika Serikat.
Kaul memimpin sebuah studi yang membuka mata semua pihak bahwa pasien jantung di Amerika Serikat telah terpapar radiasi dari 850 kali tes sinar-X pada dada, sejak hari pertama mereka berada di rumah sakit. Kebanyakan bertambahnya dosis dari tes lanjutan yang mungkin sebenarnya belum diperlukan. Karena itu, masyarakat atau pasien juga disarankan untuk kritis bertanya tentang proses, dosis, dan alasan pemindaian yang harus dijalani dan tidak begitu saja menerima saran pemindaian dari dokter.
”Anda harus menanyakan semuanya. Tingkat radiasi CT scan sangat tinggi, terutama pada bagian dada dan perut, dua daerah di tubuh tempat kanker kerap tumbuh,” tandas Fred Mettler yang mengepalai bagian radiologi di sistem pelayanan kesehatan New Mexico Veterans.
Masyarakat Amerika termasuk penduduk yang paling banyak terkena radiasi dari penggunaan alat kesehatan di seluruh dunia, bahkan jumlahnya lebih tinggi daripada orang-orang di negara-negara kaya lainnya. Amerika Serikat menyumbang sekitar setengah dari prosedur medis paling maju yang menggunakan radiasi, dan jumlah orang yang terkena radiasi terus tumbuh rata-rata enam kali lipat selama beberapa dekade terakhir. Terlalu banyak radiasi dapat meningkatkan risiko kanker. Risiko itu terus meningkat karena orang sehari-hari sering sekali melakukan tes apa pun melalui alatalat pemindai kesehatan.Misalnya sinar-X atau CT scan.
Seperti cerita seorang remaja dari New Hampshire, Amerika Serikat yang sering melakukan CT scan untuk memeriksa batu ginjalnya. Ahli radiologi Dr Steven Birnbaum mengungkapkan, remaja tersebut total telah menjalankan 14 kali tes menggunakan sinar-X.
“Melihat jumlah itu, saya (merasa) takut. Risiko kanker itu tentu saja akan tinggi,” terangnya.
Dia lalu meminta data dari dua rumah sakit tempatnya bekerja untuk mengetahui berapa banyak pasien yang telah menjalani CT scan sebanyak 10 kali atau lebih, atau pasien di bawah 40 tahun yang sudah lima kali melakukannya, yang sudah pasti berbahaya.
Birnbaum menemukan 50 orang di antaranya selama tiga tahun ini, termasuk seorang wanita muda dengan 31 kali pemindaian di perut. Birnbaum memaparkan, sinar- X atau CT scan digemari karena bisa memberikan hasil yang cepat dan sangat terperinci dibandingkan dengan magnetic resonance imaging (MRI), ultrasonografi (USG), atau pencitraan resonansi magnetik yang tanpa radiasi.
Karena itu, penggunaan sinar-X terus meningkat selama beberapa dekade terakhir. Radiasi merupakan bahaya yang terselubung karena kita tidak akan merasakan apa-apa ketika terkena radiasi. Dampaknya pun baru akan terasa atau terlihat setelah beberapa tahun kemudian. Jika dilakukan hanya sekali, tes yang menggunakan radiasi akan menimbulkan risiko kecil. Namun apabila terlalu sering, risiko terganggunya kesehatan akan semakin besar pula. Dokter tidak bisa menghitung berapa paparan radiasi yang dialami pasien. Mereka hanya menjalankan tugas melakukan tes, bukan sering atau tidaknya. Kecuali untuk manmogram, tidak ada aturan pemerintah yang mengatur dosis radiasi.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (Food and Drug Administration/FDA) Amerika Serikat akan membuat regulasi yang mengatur dosis standar untuk tes umum masyarakat dalam penggunaan sinar X, sehingga pasien dan dokter dapat melihat berapa batasan dosis yang telah diberikan. FDA juga akan mendorong kalangan industri dan dokter untuk menerapkan standar tersebut.
“Kami sedang mempertimbangkan persyaratan dan panduan untuk pencatatan dosis dan parameter teknis lainnya dari tes pemindaian (dengan sinar-X),” kata Sean Boyd, kepala bidang perangkat diagnostik FDA.
Tujuan jangka pendek dari peraturan tersebut adalah mengembangkan sebuah “catatan radiasi medis” untuk melacak dosis paparan radiasi dari awal hingga terakhir kali.“
Salah satu cara kita untuk meningkatkan perlindungan (pasien) adalah jika kita memiliki semacam pencatat dosis radiasi Geiger Counter, yang dapat diperiksa dokter sebelum tes berlangsung,” kata Dr Prashant Kaul dari Duke University, Amerika Serikat.
Kaul memimpin sebuah studi yang membuka mata semua pihak bahwa pasien jantung di Amerika Serikat telah terpapar radiasi dari 850 kali tes sinar-X pada dada, sejak hari pertama mereka berada di rumah sakit. Kebanyakan bertambahnya dosis dari tes lanjutan yang mungkin sebenarnya belum diperlukan. Karena itu, masyarakat atau pasien juga disarankan untuk kritis bertanya tentang proses, dosis, dan alasan pemindaian yang harus dijalani dan tidak begitu saja menerima saran pemindaian dari dokter.
”Anda harus menanyakan semuanya. Tingkat radiasi CT scan sangat tinggi, terutama pada bagian dada dan perut, dua daerah di tubuh tempat kanker kerap tumbuh,” tandas Fred Mettler yang mengepalai bagian radiologi di sistem pelayanan kesehatan New Mexico Veterans.
source : http://lifestyle.okezone.com/read/2010/06/19/27/344528/waspada-radiasi-dari-perangkat-medis
Kartu Rekam Medis Pertama di Indonesia
Inilah kartu rekam medis yang pertama kali digunakan di Indonesia, khususnya di RSUP Fatmawati, Jakarta. Namanya Smart Card atau kartu pintar.
Kartu ini tak hanya berfungsi sebagai tanda pengenal, namun juga mampu menyimpan informasi berupa riwayat pemeriksaan termasuk obat-obatan yang pernah diberikan dokter sebelumnya.
"Ini yang pertama kali di Indonesia, dan kita gunakan dalam pengembangan pelayanan rawat jalan di Griya Husada," jelas Direktur Utama RSUP Fatmawati Dr. H.Chairul Radjab Nasution, Sp.PD, K-GEH, MKes di Jakarta, Kamis (15/4/2010).
Kartu ini akan memudahkan dokter dan tentunya menolong pasien karena akan memperingkas waktu layanan. "Kita tidak perlu lagi lama-lama mencari berkas rekam medis yang bisa jadi harus diambil dari berkas yang sudah bertumpuk-tumpuk," jelas Chairul.
Saat datang mendaftar, pasien tinggal memberikan kartu pada bagian pendaftaran agar dipindai. Pada waktu menghadap dokter, dokter tinggal pencet data yang sudah tersaji di komputer. Semua riwayat medis sudah ada.
Dalam keadaan darurat, pasien yang dalam kondisi tidak mampu memberikan informasi mengenai keadaannya pada dokter dan perawat bisa memberikan kartu pintar ini.
Hanya dengan mendekatkan kartu ini pada mesin pembaca, informasi rekam medis pasien akan muncul sehingga tindakan cepat dan akurat dapat segera dilakukan.
"Kartu ini menggunakan teknologi dari Amerika dan memiliki memori 4 kb," jelas Business General Manager HIt Corporation, Hanryco Sutrisna.
Riwayat medis pasien yang dapat disimpan dalam kartu pintar ini antara lain data kunjungan, diagnosa, tindakan, obat yang diberikan, dokter yang menangani dan beberapa informasi lain yang memberi manfaat baik bagi pasien maupun rumah sakit.
"Kartu ini sekaligus bermanfaat menghindari pencurian data pasien karena hanya dapat dibuka oleh orang tertentu," tegas Chairul.
Menurut Chairul, kartu yang baru digunakan awal tahun ini masih dalam tahap uji coba. Ke depannya kartu ini sangat membantu dalam banyak hal termasuk meningkatkan efisiensi proses administrasi.
Kartu ini tak hanya berfungsi sebagai tanda pengenal, namun juga mampu menyimpan informasi berupa riwayat pemeriksaan termasuk obat-obatan yang pernah diberikan dokter sebelumnya.
"Ini yang pertama kali di Indonesia, dan kita gunakan dalam pengembangan pelayanan rawat jalan di Griya Husada," jelas Direktur Utama RSUP Fatmawati Dr. H.Chairul Radjab Nasution, Sp.PD, K-GEH, MKes di Jakarta, Kamis (15/4/2010).
Kartu ini akan memudahkan dokter dan tentunya menolong pasien karena akan memperingkas waktu layanan. "Kita tidak perlu lagi lama-lama mencari berkas rekam medis yang bisa jadi harus diambil dari berkas yang sudah bertumpuk-tumpuk," jelas Chairul.
Saat datang mendaftar, pasien tinggal memberikan kartu pada bagian pendaftaran agar dipindai. Pada waktu menghadap dokter, dokter tinggal pencet data yang sudah tersaji di komputer. Semua riwayat medis sudah ada.
Dalam keadaan darurat, pasien yang dalam kondisi tidak mampu memberikan informasi mengenai keadaannya pada dokter dan perawat bisa memberikan kartu pintar ini.
Hanya dengan mendekatkan kartu ini pada mesin pembaca, informasi rekam medis pasien akan muncul sehingga tindakan cepat dan akurat dapat segera dilakukan.
"Kartu ini menggunakan teknologi dari Amerika dan memiliki memori 4 kb," jelas Business General Manager HIt Corporation, Hanryco Sutrisna.
Riwayat medis pasien yang dapat disimpan dalam kartu pintar ini antara lain data kunjungan, diagnosa, tindakan, obat yang diberikan, dokter yang menangani dan beberapa informasi lain yang memberi manfaat baik bagi pasien maupun rumah sakit.
"Kartu ini sekaligus bermanfaat menghindari pencurian data pasien karena hanya dapat dibuka oleh orang tertentu," tegas Chairul.
Menurut Chairul, kartu yang baru digunakan awal tahun ini masih dalam tahap uji coba. Ke depannya kartu ini sangat membantu dalam banyak hal termasuk meningkatkan efisiensi proses administrasi.
Penentuan Golongan Darah dengan Sistem Elektronik
Pengelolaan darah sering dilakukan pada laboratorium-laboratorium klinik yang bertujuan untuk mengidentifikasikan jenis golongan darah. Salah satu cara untuk menentukan jenis golongan darah manusia adalah dengan menggunakan sistem A, B, dan O. Secara manual, cara penentuan golongan darah manusia adalah dengan cara memberikan antisera pada sampel darah dan membandingkannya dengan sampel darah lain. Hal ini tentu akan menjadi rumit dan memerlukan perhatian ekstra apabila sampel darah yang hendak diuji jumlahnya cukup banyak. Berdasarkan hal tersebut maka dibutuhkan alat bantu elektronik yang dapat membaca dan menentukan jenis golongan darah manusia dengan sensitifitas dan tingkat keakuratan yang tinggi serta tampilan digital agar mudah dalam pembacaan dan pendataan. Dengan latar belakang tersebut, maka salah satu bentuk pengembangan peralatan elektronik dalam bidang kedokteran (instrumentasi medis), yaitu “ PENENTUAN GOLONGAN DARAH MANUSIA DENGAN SISTEM ELEKTRONIK”.
Untuk lebih jelasnya, blok diagram rancangan alat ini sebagai berikut:Adapun cara kerja dari diagram blok “Penentuan Golongan Darah Manusia Dengan Sistem Elektronik” adalah sebagai berikut : Alat uji golongan darah adalah alat elektronik yang digunakan untuk menguji golongan darah manusia, apakah golongan darahnya A, B, O, atau AB. Sebelum sampel darah hendak diuji, operator harus mencampurkan reagen Anti A dan reagen Anti B pada dua titik darah di kaca prefarat, sehingga ada atau tidaknya proses aglutinasi (proses penggumpalan sel darah merah oleh reagen/serum) dapat di deteksi dengan menggunakan sensor, yaitu led dan photo transistor. Keluaran dari photo transistor tersebut sinyalnya masih terlalu lemah untuk di pakai, maka diperlukan sebuah penguat operasional untuk mengguatkan sinyal yang masih lemah tersebut, sehingga mampu untuk menggerakkan rangkaian dibelakangnya. Tegangan dari sensor setelah dikuatkan oleh penguat operasional, kemudian dibandingkan dengan tegangan referensi oleh rangkaian pembanding tegangan (comparator) sehingga keluarannya merupakan keadaan rendah atau keadaan tinggi. Dalam hal ini, keadaan rendah di anggap sebagai logika 0, dan keadaan tinggi di anggap sebagai logika 1. Dapat di tarik kesimpulan bahwa keluaran dari comparator adalah merupakan keluaran digital. Selanjutnya keluaran dari comparator dimasukkan ke rangkaian pemicu schmitt (schmitt trigger). Fungsi dari rangkaian ini adalah untuk memperbaiki tegangan dari comparator agar tidak terpengaruh oleh derau atau noise, sehingga benar-benar merupakan sinyal digital. Keluaran dari schmitt trigger yang sudah merupakan sinyal digital, dimasukkan ke rangkaian dekoder (decoders) untuk di proses, dan selanjutnya akan ditampilkan hasilnya pada penampil (display) hasil golongan darahnya. Dalam hal ini untuk penampil menggunakan led. Sebuah motor stepper dan sebuah piringan putar diperlukan untuk meletakkan sampel darah dan menempatkannya tepat pada uji area (antara led dengan photo transistor). Sebuah rangkaian pengendali diperlukan untuk mengatur kerja dari keseluruhan sistem. Rangkaian ini mengatur urut-urutan kerja dari tiap-tiap blok rangkaian, kapan harus mengerakkan motor stepper, mengaktifkan dekoder, dan menampilkan hasilnya pada penampil.
Pengujian darah manusia secara manual dilakukan dengan metode slide (metode sel) dengan menggunakan antisera A (berwarna biru) dan antisera B (berwarna kuning). Adapun cara kerja penentuan golongan darah manusia dengan cara manual adalah sebagai berikut. Sampel darah diletakkan pada dua titik darah darah (titik 1 dan titik 2) pada kaca prefarat, kemudian teteskan antisera A pada titik 1 dan antisera B pada titik 2. Aduk kedua titik sampel darah dengan menggunakan pengaduk, agar proses aglutinasi dapat lebih cepat terjadi. Tunggu beberapa saat agar terjadi reaksi kimia, kemudian lihat pada kedua titik itu apakah ada atau tidak proses aglutinasi. Jika ada proses aglutinasi maka di beri tanda + (positif), dan jika tidak ada proses aglutinasi di beri tanda – (negatif).
Adapun cara kerjanya adalah sebagai berikut. Teteskan sampel darah yang hendak di uji pada dua titik darah pada kaca prefarat, kemudian teteskan antisera A pada titik 1 dan antisera B pada titik 2. Langkah selanjutnya, letakkan kaca prefarat di atas piringan putar. Tunggu beberapa saat sampai sampel darah tepat di atas sensor darah, kemudian lihat hasilnya pada penampil led. Tampilan dari penampil adalah jenis golongan darah yang sedang di uji, apakah golongan darahnya A, B, O, atau AB.
Bagian utama dari perangkat ini adalah sensor darah, yang meliputi led dan photo transistor. Adapun analisis penentuan golongan darah secara elektronik adalah sebagai berikut. Sepasang led dan photo transistor diperlukan untuk mendeteksi proses aglutinasi pada dua titik darah pada sampel uji. Led memancarkan cahaya yang akan menembus sampel darah, dan sebuah photo transistor diperlukan untuk menerima cahaya dari led yang telah menembus sampel darah. Dalam hal ini cahaya yang digunakan adalah cahaya inframerah, sehingga led yang digunakan adalah jenis led yang dapat memancarkan cahaya infra merah dan photo transistor yang digunakan adalah photo transistor yang hanya dapat menerima cahaya infra merah saja. Penggunaan cahaya inframerah bertujuan agar sistem (dalam hal ini sensor) Besarnya intensitas cahaya pada 2 titik sampel darah akan berbeda-beda, tergantung pada ada tidaknya proses aglutinasi. Jika pada salah satu titik sampel darah tidak ada proses aglutinasi, maka intensitas cahaya yang di terima oleh photo transistor akan berkurang dan menyebabkan tegangan keluaran sensor menjadi rendah. Jika pada titik sampel darah yang lain ada proses aglutinasi, maka intensitas cahaya yang di terima photo transistor akan bertambah dan menyebabkan tegangan keluaran sensor menjadi bertambah.
Author : Haryono Budi Susilosource: http://ndoware.com/penentuan-golongan-darah-dengan-sistem-elektronik.html
Peralatan Medis yang Digunakan Saat Bedah
video ini menjelaskan demonstrasi dasar peralatan bedah seperti gunting tang dan gunting dan penjelasan bagaimana cara menggunakannya dengan benar
Alat-Alat Kedokteran Kuno yang Mengerikan
2. Artificial Leech (1840):
Alat-Alat Kedokteran Kuno yang Mengerikan
1. Tobacco Enema (1750-1810):
Dipergunakan pertama kali dalam hal medis untuk memasukkan asap melalui anus/dubur, alat ini digunakan terhadap para korban tenggelam. Dengan memasukkan asap tembakau melalui anus/dubur, maka dipercaya bahwa korban tenggelam tersebut dapat kembali bernafas setelah pingsan akibat tenggelam
2. Artificial Leech (1840):
Dipergunakan untuk pengobatan penyakit mata dan telinga.
3. Double Guillotine (1860):
Dipergunakan untuk mencabut amandel.
4. Screw "Gag" (1880-1910):
4. Screw "Gag" (1880-1910):
Dipergunakan untuk membuka paksa mulut pasien
5. Saw (1830-60):
5. Saw (1830-60):
Gergaji yang dipergunakan untuk menggergaji luka yang dianggap telah lemah untuk di operasi
6. Backward "Scissors (1500):
6. Backward "Scissors (1500):
Gergaji ini dipergunakan untuk melakukan operasi untuk amputasi
7. Knive for Cutting (1770):
7. Knive for Cutting (1770):
Pisau dan gunting yang biasa digunakan untuk operasi
8. Manual Trepanation Skull (1800):
8. Manual Trepanation Skull (1800):
Alat yang dipergunakan untuk melubangi tengkorak kepala, untuk operasi organ bagian dalam kepala
9. Tools For Operations On Hemorrhoids And The Uterus (1870) :
9. Tools For Operations On Hemorrhoids And The Uterus (1870) :
Rantai yang ada pada alat ini dipergunakan untuk memotong saluran gemmoroidalny site
10. Combating Hernia (1850):
10. Combating Hernia (1850):
Alat ini akan dimasukkan kedalam area tubuh yang terserang hernia dan akan dibiarkan dalam beberapa minggu, kemudian alat ini akan dikeluarkan, dan luka bekas penggunaan alat ini akan menyembuhkan hernia
11. "Compass" for The Exact Location Bullets In The Body (1915):
11. "Compass" for The Exact Location Bullets In The Body (1915):
Alat yang berbentuk seperti kompas ini akan digunakan untuk menandai tertembak peluru, dengan alat ini letak peluru akan di tandai
12. Tool To Extract The Bullet (1500):
12. Tool To Extract The Bullet (1500):
Dengan menggunakan alat ini lah peluru yang menembus masuk kedalam tubuh akan dikeluarkan